Jumat, 20 Mei 2011

SERANGKAI BUNGA INDAH

SERANGKAI BUNGA INDAH


Rembulan tampak berwarna pucat
Mengintipku dari balik pohon beringin yang rindang
Aku duduk termenung sendiri terpaku,
Memikirkan hariku yang pedih
Hatiku terbelenggu oleh sepi, hening, dan senyap
Karna,
Pengkianatan menyihir hatiku yang merah menjadi hitam pucat

Tak sadar,
Ada serangkai bunga indah nan mekar di balik semak belukar
Terlihat segar dan berakar
Kini ku sadar, hidupku tak sendiri
Masih banyak sahabat-sahabat lain yang menemani hari-hariku

Rintih-rintih Kenangan

Rintih-rintih Kenangan

Angin laut bertiupan ke pedalaman. Memahat pasir gurun menempa sabit. Berdarahlah jemari berdarahlah hati. Menggagas rindu menggagas pulang. Ke alamat mana dahulu aku tinggal.1) Pantai sesekali mengirim cemas lewat buih yang bergegas.

Segantang rindu membayang di ambang batas pandang. Camar bergegas menyeret-nyeret sepi pulang ke sarang. Matahari yang renta tergugu di beranda bianglala.2)

“Tidak, ayah.” Aku terhenyak.

Kenangan itu tiba-tiba saja melesak. Perjuangan berat selama tiga tahun untuk mengubur kenangan itu. Menjadi semata usaha yang percuma. Sia-sia belaka. Semua bermula dari ajakan ayah untuk kembali ke pulau tempat aku dibesarkan, pulau Batam. Begitu deras kenangan itu menggilas.

“Aini, kamu hanya dua orang bersaudara. Kamu hanya punya satu kakanda. Dan kakandamu hanya punya satu adinda. Kandamu berharap kamu bisa menemaninya menempuh hidup baru, barang satu-dua minggu. Apa pun risikonya,” tutur ayahku panjang lebar.

Petta, begitulah aku memanggil ayahku yang telah membiarkanku melarikan luka ke kota Bogor, adalah ayah yang baik dan penyabar. Pada wajahnya yang keras khas lelaki dari Bugis-Makassar, dengan tubuh tegap layaknya nahkoda kapal niaga, aku bisa menangkap ada kecemasan membayang di rerambut putih dan kerat-kerut di keningnya. Petta selalu berbicara dengan suara yang lambat dan lembut, seperti keluar dari bagian tubuh yang paling dalam dan jauh. Tidak pernah kulihat Petta marah, bahkan sekadar mukanya memerah karena menahan amarah. Termasuk ketika aku meminta diberi luang menjalin cinta dengan lelaki pepuja hati. Tidak selayaknya lelaki Bugis-Makassar dengan adat masih terpegang ketat, Petta memberiku peluang. Petta hanya memberi pesan, “Hati-hati, cinta kadang-kadang membawa luka. Petta tidak ingin kamu menangis.”

“Kenangan itu masa lalu. Kamu hidup hari ini, bukan di masa lalu,” tambah bundaku.

Dan, ah! Kenangan itu bisa. Menyakitkan. Tidak mudah menawar bisa itu, bahkan dengan jampi mantra leluhur paling sakti maupun dengan air kelapa muda berwarna paling hijau sekali pun.

Kenangan itu luka. Mematikan. Tidak mudah menyembuhkan luka itu, bahkan dengan racikan obat tradisonal tabib mujarab maupun dengan rerupa resep dokter paling spesialis sekali pun.

“Tidak, petta. Tidak. Aini ingin menemani kanda barang satu-dua minggu, namun hati Aini tidak berdaya menawar leluka. Terlalu menyakitkan kenangan itu, Petta. Sanna sikali paccena atingku.3) Maafkan nanda, Bunda.”

Petta terdiam. Di matanya membayang geliat air mata. Selalu begitu jika Petta menatapku. Kucoba bertahan dengan sesendu tatapan yang kupunya. Petta memalingkan wajahnya. Aku tahu, pasti ada riak di mata Petta. Dan, Petta akan selalu menyembunyikannya. Selalu ingin terlihat tegar. Meski kutahu, Petta merasakan getir yang melindap di kedalaman hatiku.

“Mari sini cahaya hatiku, putri belah jiwaku. Petta tahu kamu terluka. Tiga tahun semuanya berlalu, kamu masih juga bertahan memeras kenangan. Ah…”

Bunda tergugu. Di pipinya menderas air mata. Selalu begitu jika Bunda mengingat kerat-kerat sejarah cintaku. Kuseka air mata yang satu-satu menggulir di pipi. Bunda semakin tergugu. Air matanya menderas. Aku yakin, Bunda selalu ingin menahan tangisnya. Selalu ingin membenam lukaku dalam lelembut dekapnya. Meski Bunda tahu, sesaat setelah peluk itu terlepas, serpih rintih-rintih kenangan kembali akan menyerbu dari segala penjuru.

“Sudahlah, Nanda. Semua harus berakhir. Mungkin inilah jalan yang terbaik dan kita mesti relakan kenyataan ini,”4) tutur Bunda.

Semilir angin senja melayah di wajah. Matahari bermandi cahaya memerkah di langit sebelah barat. Batam terasa panas meski senja sudah memerah.

Semakin ingin kumatikan kenangan, semakin kuat batangnya menjulang ke angkasa. Semakin ingin kulupakan semuanya, semakin kokoh akarnya memancang dalam ingatan. Sungguh, terlalu indah untuk dilupakan. Meski terlalu perih untuk dikenangkan.

***

Camar sedang berkemas pulang ke sarang. Langit memerah diruah cahaya senja. Arak-arakan awan menghampar dilingkung kenangan. Dari arah laut, ombak berkejaran. Menggulung bebuih, meninggi-merendah, meregang-menerjang, menepi di bibir pantai. Sepanjang mata memandang, pepasir basah berkilau menantang. Cangkang kerang berserakan menanti tangan lajang.

Segera kemari kenangan, tiga tahun silam, di tempat ini kulurung harapan di sela gelombang. Tiga tahun silam, kularung cinta di bebatuan karang. Tiga tahun silam, kulindung limbung hati menahan rerupa beban.

Datanglah, meski bukan sebagai kenangan. Jadi teman bercerita saja sudah cukup bagi letih. Karena waktu yang terus susut, tak henti menabur kenangan. Sedang kita tak sempat memungutnya.5) Aku ingin melupakan semuanya. Itulah mengapa sehingga aku memaksa diri melawan semua ketakutan. Ya, semenjak kematian Uki, aku paling takut bertemu ombak, apalagi pantai atau samudera. Tapi sampai kapan ketakutan itu harus aku pelihara? Hingga kapan aku harus menghindari samudera? Aku tidak bisa membiarkan diri sendiri dipenjara ketakutan.

Di bentang laut yang luas, telentang maut yang buas.6) Indah rasanya. Tersesat dalam rerimbunan bahasa yang asing, bahasa yang seluruhnya adalah nyanyian ingin menidurkan ombak dan seluruh yang bergolak serta membangunkan seluruh yang tergeletak.7)

Tuhanku yang berkuasa atas lautan dan seluruh isinya, biarkan aku melupakan kenangan menyakitkan yang telah Engkau curahkan dalam serat-serat ingatan. Biarkan aku tetap bisa melihat ombak dan laut lepas, tanpa harus diselimuti rasa rindu dan ketakutan yang berlebihan. Biarkan aku tinggalkan Batam dengan teduh merindu dan tenang mendamba. Tuhanku, amin.

Dari arah tempat Uki dulu mendorong perahu ke laut lepas, nelayan-nelayan mulai berkemas. Di bawah bebayang cahaya senja, sosok yang dua hari belakangan ini menguasai dunia nyata dan mimpiku, sedang melenggang dalam ayun langkah yang tak asing.

Sebisa mungkin aku menghapus bayangan Uki. Tidak, betapapun Oka bukanlah Uki. Uki tetaplah Uki, sedangkan Oka adalah Oka. Geliat darah menderas mengalir hingga ke ujung jemari sederas ombak menerjang karang. Mengapa aku tak lagi bisa meretas harapan yang menderas?

Aku tahu di depanku membentang laut lepas, tapi aku tak kuasa menanti Oka mendekat dan menyeret tubuhkan semakin tenggelam dalam gelombang kenangan yang mengerikan. Aku katupkan pelupuk mata, menghela nafas panjang, hendak menenteramkan hati dengan menghirup angin laut, harum pasir basah dan wangi gelombang. Dengan mata terpejam, aku saksikan Uki mengambang di angkasa. Duh, segera kubuka pelupuk mata. Di depanku, dengan tubuh tegap dan kekar, Oka berdiri melemparkan senyum paling teduhnya.

“Kukira kamu ke Bogor hari ini tanpa menitip pesan untukku,” kata Oka sembari membungkuk memunguti penyu kecil yang tersesat ke pantai, melurungkannya kembali ke laut.

ARGGGHHH! Aku benci saat-saat seperti ini. Mengapa pada saat aku mulai terbiasa melupakan bayangan Uki, Engkau hadirkan Oka selaku pengusik ingatan.

Aku menengadah ke wajah Oka. Parasnya yang berhias hidung yang mancung seakan menjelma paruh burung dengan kumis tipis menggaris di atas bibirnya yang senantiasa berhias senyum hangat, meski dengan bibir yang terkatup rapat. Alisnya yang hitam tebal melengkung bak pelangi. Di bawahnya bertahta sepasang mata elang, tajam dan meneduhkan, laksana bola kaca menyimpan berlaksa cahaya. Rambut ikalnya yang terpangkas pendek, serasi dengan tekstur wajahnya yang gagah perkasa. Sungguh, Uki dan Oka, benar-benar pinang di belah dua.

“Mengapa terus menggali kenangan, Dewi?”

“Panggil aku Aini, kumohon. Dewi telah terkubur bersama jasad Uki. Di sana, diperbatasan Laut Nongsa dan Laut Cina Selatan,” protesku dengan bola mata yang menyanggah kristal bening.

Oka melangkah ke arahku, berhenti tepat hanya selangkah di depanku. Tangannya terulur, menyeka dengan lembut air mata yang mengalir di pipiku. Aku mencoba bertahan dari siksaan kenangan, tanpa sepenuhnya paham apa yang harus aku lakukan.

“Dia telah pergi, Aini. Dia telah pergi.”

“Aku tahu.”

Lalu, angit laut yang mendesing di kuping turut menegaskan hening. Serentak aku dan Oka melepaskan pandangan ke laut lepas. Hanya kerling mata yang berhiaskan benang-benang kecemasan seakan hendang berbagi ketenangan. Namun hening lebih melarung dan melurung-lurung jiwaku yang ditelikung resah.

“Aku juga kehilangan kakakku, Aini. Aku juga kehilangan Uki. Kedekatan kami semenjak dipisahkan kenyataan dalam usia masih teramat muda, tiba-tiba direnggut ombak dan ganas laut lepas. Aku juga kehilangan, Aini. Bukan hanya kamu yang sering berkelahi dengan ingatan, aku juga mengalami hal yang sama. Aku juga susah-payah membunuh kenangan, meski hingga sekarang aku tak pernah mampu mematikan kenangan itu,” tutur Oka dengan mata menerawang.

Hawa dingin angin laut menggerayang di wajahku. Kata-kata yang sejak tadi aku tunggu, serta-merta bergema di telinga. Kian menegaskan kecemasan. Semakin memastikan kekuatan kenangan.

“Tapi kita harus tetap hidup, Aini,” lanjut Oka. Kali ini wajahnya berpaling padaku. “Kita harus tetap bertahan, pasti hal sama yang Uki ingin kita lakukan. Bukan terus-menerus berkubang dalam lumpur kenangan,” tegas Uki lagi.

“Aku sudah berusaha, Oka.”

“Hasilnya...”

“Kamu yang merusak semuanya. Kamu hadir ketika aku nyaris bisa menyimpan kenangan semata sebagai penghias ingatan. Kamu porak-porandakan pertahanan yang kubangun susah-payah. Kamu membobol bendungan penahan air mata yang kubangun dari serpih-serpih asa.”

“Maafkan aku jika mengusik ketenanganmu, Aini. Tapi...”

“Kenapa?” cecarku.

“Ah...” keluhnya sembari kembali menerawang ke laut lepas.

“Kenapa?” cecarku lagi.

“Aku juga ingin melupakan semuanya. Berharap jika bertemu denganmu, aku lebih mudah menjalani kenyataan ini.”

Mata itu, ah, mata itu. Mata Oka yang sedang berkaca-kaca menahan air mata, persis mata Uki jika sedang berjuang mati-matian menahan tangis. Aku merasa dihirup kekuatan maya, aku butuh ketenangan. Tumpah air mata yang dari kemarin tak berhenti meruah. Seketika suasana pun bertambah hening. Tanpa suara. Saling berdiam diri. Hanya debur ombak sesekali menimpali. Cahaya senja begitu sempurna menebar sunyi. Tangan kekar Oka merengkuh aku pada damai peluknya. Aku merasa gamang. Air mata meruah membasahi baju dan dada bidang Oka. Dua-tiga hitungan, aku merasa memeluk Uki. Pada detik keempat, aku merasa salah tempat. Kesadaranku mulai kembali.

Segera aku menarik tubuhku dari peluknya.

“Kamu jahat, Oka. Kamu memanfaatkan situasi...” jeritku sambil memukul-mukul dadanya.

“Ainiiii....” keluh Oka, “kamu salah mengerti.”

“Tidak, kamu yang salah mengerti, Oka. Kamu jahat.”

Aku berlari meninggalkan Oka dengan kesedihan memuncak dan pecah di sela ombak. Jeritku seakan merobek angkasa dan mengalahkan dendang gelombang. Terdengar samar Oka memanggil namaku, tapi aku tak peduli. Aku terus berlari. Aku harus pergi. Aku tidak bisa terus-terusan begini. Sebentar lagi aku memasuki perkampungan nelayan, tempat mobilku terparkir. Aku harus terus berlari, harus. Hingga tiba-tiba aku merasa ada tangan kokoh yang mencengkram lenganku dengan kuat. Aku meronta, sekuat tenaga.

“Lepaskan... Lepaskan!”

“Tidak. Sebelum kamu tahu semuanya.”

Matanya yang setajam mata elang itu seakan melumpuhkan segala daya yang kupunya. Aku tak bisa apa-apa. Hanya menunggu. Pasrah.

“Aku menyayangi kamu bukan semata karena kamu kekasih Uki. Aku menyayangi kamu karena memang sayang padamu. Aku tak ingin kamu terus menderita dan hidup dalam bayangan kelam masa lalu. Aku ingin mengajakmu merancang masa depan yang baru.”

“Benarkah?” tanyaku dengan mata menyelidik.

“Ya!”

Aku melengos.

“Sudahlah, tidak perlu bertahan pada kenangan.”

“Oke,” kataku tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget, “oke, tapi beri aku waktu.”

Oka mengangguk. Aku memberi isyarat untuk pulang.

“Aku antar?” tanya Oka.

Aku hanya menggeleng, dan terus melangkah. Hari semakin senja. Matahari tinggal sepenggalah dari tempat istirahnya. Mungkin sudah jam lima petang.

***

Apakah aku bahagia mendengar pengakuan Oka? Entahlah. Sungguh, seperti menemukan panas matahari dan dingin angin laut bersahabat sangat dekat seperti kekasih yang menikmati cinta di perbatasan antara enggan dan akan, antara pergi dan kembali.8) Tapi aku memilih pergi. Mumpung baru jam setengah enam. Masih ada pesawat ke Jakarta. Aku harus meninggalkan Batam hari ini juga, sebelum aku jatuh cinta pada Oka. Segera kukemasi pakaian dan buku-buku.

“Mau kemana, sayang?” tanya Bunda yang tiba-tiba nongol di pintu.

“Bogor, Bunda?”

“Sekarang?”

“Ya!” jawabku tegas.

“Tidak bisa menunggu pagi?”

“Tidak bisa Bunda, aku takut Oka semakin membayangi benakku.”

“Sendirian saja?”

“Nggak apa-apa Bunda. Nanti minta dijemput kakek di Cengkareng.”

Bunda pun membisu. Membantuku mengemasi pakaian, melipat dan memasukkan ke dalam koper. Mengumpulkan buku, lalu mengepaknya dalam kardus.

Hari semakin senja. Aku harus segera pergi.

***

BERSAMBUNG

By Tono Maryono Cilawu Garut




Belantara Hati Manusia

Belantara Hati Manusia

Bening merinai di atas tulang pipi yang lusuh
Dada yang terserak tak kuasa menahan dera memburu
Setiap detik jerit terdengar lirih menyayat kalbu
Setiap jengkal tanah bergeletak mayat membiru
Alangkah hina pemandangan yang telanjangi mataku

Mencoba berharap mimpi ini segera berakhir....
Berandai ini bukan sebuah realita....
Menyibak tabir kegundahan yang melanda
Menyingkap semua tanya yang tak kunjung terjawab

Adakah kepal tangan besi yang dapat hancurkan tirani?
Adakah seonggok daging mati ini hidup kembali?
Akankah belati ini dapat meruncing melawan tragedi?
Akankah... Adakah... Bilakah...

Hati yang terbakar dendam gema mencaci
Hanya mampu mencaci....

Dengar gelegar seruan Kitabmu
Bakar hatimu dengan gelora menjemput syahidmu
Hunuskan semangat membela saudaramu

Tapi kita hanya diam....
Acuh melintas depan paras berdarah
Angkuh tertawa melihat derita
Belantara... Ya, inilah belantara
Urus hidup sendiri, atau kau tergilas mati

Cinta Dan Air Mata

Cinta Dan Air Mata

Tak cukupkah segala kasihku!
Tak cukupkah segala kesedihanku tertumpah hari ini
tak inginkah bila kita dapt melangkah lebih pasti
haruskah ada semua ini dalam diri kita
dan hujanpun akan semakin deras
curahannya begitu keras terdengar dihati

begitu menjemukan dibalik dendam yg berjelaga
meratapi kasih2 hampa
menatap kosong ke sisa2 malam
terukir gurat merah sesal dibatasnya rindu
aku yg terdiam disini
teringat masa lalu yg tertusuk sembilu

tatapan begitu tajam
hingga hatikupun tertusuknya
nyeri terasa hingga langitpun berubah menghitam
telah ada dibenakku tentang itu

jarak jalan yg tertempuh semakin memperparahnya
lalu engkau terdiam
disela2 waktu yg tak berhenti memakiku
aku memang bodoh

bercerita padaku ya malam
bisikkan sedihmu dalam tingkah gerimis
kunantikan disini daku setia menunggumu
hingga kutahu rahasia wajahmu yg kelam
menangislah padaku sampai langkahmu jauh melarut]
mengaduhlah padaku bersama angin surut ke laut
rinduku padamu tumpas dalam relung sunyi ronggamu
rinduku paadamu adalah cinta menjulang langit kelabu
kekelaman apakah yg akan kau sampaikan
rahasia siapa yg lama kau sembunyikan
malam yg kekal yg berahasia
bukankah padaku segala mimpi
malam yg larut oleh derita
menghampirilah padaku tanpa gelisah sangsi
mengapa lajumu tersendat dalam kehendak bebas?

yg terjadi adalah saat hening yg ada menyesakkan jiwa
menangisi kecewa yg tak bertepian
dan buih2 dilautan semakin surut
aku tetep tak mengerti

akankah hatimu bagai gunung tinggi menjualang
ditengah lautan luas
dan tak seorangpun yg akan mencapaimu lagi
telah lepaskah kepasrahan yg dulul kau dengungkan
hingga menyibakkan tabir yg mencumbuku kemarin

dan yg tersibakkan adalah kenangan
yg tertimbun batu2 hitam
dalam keremangan senja hatimu
menari menyusupkan setitik embun di nadi
engkau tak akan mengusapnya
dan yg terlukiskan adalah kisi2 jiwa
yg terjamahkan dendam kemarin lalu
merubahnya dengan harum tubuhmu
akupun bernapas lega
selaksa terbang diantara relung jiwamu
yg pernah menangis bisu
dan yg dihadirkan adalah ungkapan
yg menancapkan kukunya dibatas keraguan
menjadikan langkah ini semakin teguh


diawali dengan tangis2 semu
semua yg terjadi disini menyebar
menghembuskan wanginya dijaring laba2
meneteskan embunnya yg begitu sejuk
walau kadang sinarnya juga berkedip
aku tetep mengagumimu


dan rintik hujan hanyalah onak kecil yg menerobos jalanku
menekan sedikit hasratku tuk menjamahmu
menghangatkan relung yg terbiaskan mimpi
menyalakan lilin yg hampir tersapu angin
peluhmu bercucuran membasahi sudut asa
yg selalu kau dendangkan bersama tangis
engkau mengilhami lamunanku untuk selalu tentangmu
dan ayumu adalah ciptaan pujangga dunia


kita begitu dekat sebagai api dengan panas
memancarkan nyala tanpa asapnya
dan selalu menebarkan cahaya dijiwaku

telah kudatangkan mendung di telaga itu
membawa petir yg bersorak girang
mengusik ketenangan sang telaga
mengeruhkan setiap jernihnya

pagiku kembali mendung
membawa kabut di hatiku
meresapi kemarahan bercampur ego
dan yg tersisa hanya lelah
berteman rasa sakit
dan terus berjalan menapaki jalan2 tajam
tanpa langkah2 yg pasti
jiwaku mengais hari ini


yg bermimpi akan tetap bermain dengan halusinasi
yg berkhayal akan selalu berada dalam imajinasi
tapi yg tersadar selalu mendambakan kenyataan
ditempat ini segalanya begitu

Dan biarkan semuanya lahir dari rongga jiwa
kerinduan tak berbatas yg bermain bersama asaku
memegang angan2 yg berhiaskan mahkota mimpi
dan salah satu jarinya tergores perih
yg berteriak pada malam adalah diriku
menancapkan kukunya dipahatan bumi
lalu hilang tertelan gelap
Engkaukah itu, butiran debu yg akan mensucikan
dari lumpur yg berceceran disela waktu
Dan tak kan kuhentikan kerinduan ini
dan hanya derita yg memamah setiap kekasihmu
aku tak kan menyesal sebelum aku menemukan
butiran debu bercampur dalam pasir
sirna

ada ruang bagi perdu dimatamu, tapi dengarlah
rongga ini diam diam telah tertali
oleh derajat termo yg makin sempit
karna ternyata kabar duka dari inti bumi
harus senantiasa dicatatkan pada nisan dan buku harian

jejakmu pada pasir mendesis sampai kehulu
dan pelayaran terdahulu ternyata hanya menambatkan rasa perih
pada dermaga yg telah membatu
usaikan saja nyanyi itu
sebab hanya tentang detik dan gambar batu
yg terus mendekap perahu yg kian kuyu



Siapa lagi yg akan lahir dari perasaan pori-poriku
ribuan tahun cahaya sejarah mencatat nama yg tak pernah selesai
bayi yg bergegas cair sebelum jelas bentuk yg dirindukannya
beginilah kekacauan itu
aku tersesat diantara pohon rimbun tanah airku
setiap rindang menyimpan perangkap yg sama adilnya
siapakah yg menggiring lebah ke harum kelopak bunga bisa?
jika engkau, kenapa harus bekerja dari gairah luka?

Aku berkaca diujung rindunya dunia
membahana umpatan yg mengiringiku
engkau dalam bejana yg ditaburi benci
menggelorakan napas napas sesak
lalu aku menyapamu "pernahkah dahaga itu untukku lagi"
seutas senyum kau suguhkan dengan sambutan gelisah
aku kembali menyapamu "akankah mata air ut membasuhku lagi"
tertusuk hatimu kedalam dekapan ragu lagi
hingga engkau merebahkannya, menutupnya dengan kain hitam
menguburnya kelapisan terdalam
aku menemuimu kemarin
dengan tertutup dan langkah tertatih
aku menemuimu dalam mimpi senja, menaiki puncak kerinduan
diantara remangnya senja aku raba wajahmu
begitu dingin hingga tangankupun beku menyentuhnya
engkau membuka mulutmu setelah sekian lama diam
"aku dalam pelukan dosa, membasuhku adalah sia sia"
engkaupun terpejam merengkuh lagi ucapanmu
kusunggingkan senyum kecil dan kecut
"andai aku bisa mensucikanmu"
aku yakin hatimu adalah jiwa dalam samudra hidupku
engkau membuka mata mencoba menghangatkanku, walau tetap kurasa dingin

Sang kancil telah keluar dari rumahnya
menghambakan hidupnya pada alam
tak hentinya ia teriak geram
ketika buminya tak lagi lepaskan lelahnya
mimpi kecilnya semakin hilang
tertelan deru mesin yg menyiutkan nyalinya
akankah hati kita tak pernah merasa??


Maka bila hanya waktu yg memapah kita
dan bila hanya desiran angin yg mendorong kita
saatnyalah bagi kita untuk melepas jiwa dalam satu asmara
dan bila debur ombak membasahi rambutmu
sementara sang rembulan menerpa wajahku
maka tak ada lain selain kita.

Jangan engkau usap dulu wangi itu
karena baunya masih menyejukkan bagiku
dan ketika hanya wajahmu yg tampak dimataku
aku masih bisa mencium harumnya
dibalik kelambu biru
aku melihatmu tersenyum simpul
sejenak melepas lelahku
setelah seharian aku mengarungi waktu mencarimu


Yg biru tak akan menjadi hijau
yg hijau tak akan menjadi biru
dan yg merah juga tak akan menjadi kuning
jika kau tak merubahnya
tapi yg putih akan menghitam kalo kau membiarkannya



Dan apakah yg tertuang saat ini hanyalah kiasan rembulan?
menusuk kejantung bagai anak panah
lalu apakah yg terasa hanya pancaran mentari dibalik terali besi
mendekap mimpi hingga terasa sesak
akankah yg tersirat tak pernah terwujud
dan apakah yg terasa hanya berada di alam mimpi


Lalu apakah lagi yg akan kusesali
jika hatikupun menyambut bayangmu yg mendekat
jika jiwaku hanya mengharapmu memelukku
maka tak ada lagi yg perlu disesali
saat secercah asa menaungi kita berdua


Dan dendam yg kau dendangkan telah memupus rindu yg kutanamkan
tak ada lagi kesan yg tertinggal dibalik hatimu
lalu engkau seprti lilin
semakin padam tertiup angin yg berlalu dengan waktu


Engkau datang bersama hembusan angin
menyejukan hatiku yg sedikit galau
mengikis kedukaan yg membalut kulitku
engkau datang bersama sinar purnama
menerpa wajahku yg menatapmu nanar
menambah indah malam yg pernah kurasakan dingin


Engkau telah datang dari seberang mimpi
engkau telah hadir dari retaknya hati
hari ini setahun yg lalu
dan saat cemara mengibaskan rambutnya
aku memandangmu dengan tatapan arti
hari inipun engkau mengingatnya
lalu awanpun berarak memayungimu dari terik
menyeka peluhmu dengan anginnya
aku tahu engkau mengingatnya

Engkau telah datang dari seberang mimpi
engkau telah hadir dari retaknya hati
hari ini setahun yg lalu
dan saat cemara mengibaskan rambutnya
aku memandangmu dengan tatapan arti
hari inipun engkau mengingatnya
lalu awanpun berarak memayungimu dari terik
menyeka peluhmu dengan anginnya
aku tahu engkau mengingatnya.


Aku hanya diam dibatas sepiku
hanyalah kecewa yang aku kunyanyikan
dari baris masa lalu yang pernah aku lakukan
terasa hanya onak yg tak berhenti menusuk
akankah ini akan cepat berakhir?


By: Tono Maryono Cillawu Garut

Cinta Love

Cinta Love


Selembut hembusan angin soreku
yang setia menemaniku
menemani rasa kesepianku
aku sepi…………….
aku sendiri…………..
dan aku sedih……….

bgitu indah cerita cinta yang kita jalani sewaktu bersama
bahkan aku tak akan pernah melihat setitik kesalahan dari kamu……….
walaupun itu kamu lakukan terhadapku…………

tak masalah bagiku………
begitu besarkah kau mencintaiku.
sekarang……..
sekarang……..
Allah bahkan memisahkanku dengan hal yang paling aku cintai

mungkin sudah saatnya kesetian aku dan kamu sedang diuji
apa emang iya kita sedang diuji?

kalu iya sampai kapan
aku dan kamu bisa bertemu

yakin
yakin
aku yakin
sejauh apapun kamu
aku tetap menantimu
ku harap kamu kembali sayangku
aku mencintaimu

Puisi Hutan

Puisi Hutan

Lembut angin ajakku berjabat
Denting air mainkan piano nada
Mentari peluk jiwa nan bersahabat
Alirkan kasih hangat dalam dada

* Puisi Hujan
disaat musim panas datang,
hadirmu tak pernah q lihat lagi,
semua orang sangat rindu kepadamu,
akankah kau muncul,
memberi kesejukan untuk kami,
makhluk yang ada di bumi

*Puisi Pelangi
indah lengkungan cahaya
sesaat hujan terhenti
berkilu bak mutiara dari laut
istimewa memiliki tujuh warna
membuat hati tarpesona
bagaikan jelmaan sang bidadari
yang turun dari khayangan
mencari tempat untuk bersemayam
menanti perintah peri khayangan

* Puisi Laut dan Hutan
aku sudah berpisah
dengan gunung
oleh sebuah patok bertulis
“area pribadi bukan untuk umum”

aku sudah bercerai dengan laut
oleh sebuah kertas bertuliskan
“tiket masuk”

tapi aku…
tak akan pernah bisa berpisah

aku tak akan pernah …
bercerai dengan LANGIT
sebelum ada orang
yang serakah dan mengeram…!
menguasai dengan lantang…
“INI LANGITKU..!”
“DAN ITU LANGITMU…”

Puisi Bintang

Puisi Bintang

* Puisi Bintang
Kau adalah cahaya yang bersinar di malam hari.
Engkau berkedap kedip di atas langit yang gelap.
engkau selalu menerangi tidurku.
Terkadang,aku sering memimpikan mu.
Oh Bintang……
Andaikan aku bisa mendapatkan mu aku akan bahagia sekali

* Puisi Malam
Begitu gelap gulita
Karena bumi memunggungi sang mentari
Begitu indah
karena sewaktu malam datang
bulan pun bersinar
Pantulan cahayanya yang sangat terang
Menyinari semua makhluk yang sedang terlelap
Malam yang indah
Bertabur beribu bintan




Puisi Kesepian Cinta.

Puisi Kesepian Cinta.

Sepi Sendiri

kini aku sendiri.,
tak ada yg mau menemaniku.,
aku hanya hidup dngan kehampaan yang kosong.,

aku butuh cinta.,
cinta yang mampuh membuatku tersenyum.,
cinta yang mampuh membuatku tertawa.,
dan cinta yang mampuh membuatku semngat.,

kenapa aku tak bisa mencintai?,
disaat dia bisa mencintaiku dngan stulus hatinya.,
kenapa aku tak bisa membalas cinta nya?,

sekejam inikah aku pada dia?,
aku bener-bener tidak tau tentang diriku sendiri.,

dan dalam waktu ini,
dan dalam detik ini.,
aku bener-bener membutuh khan cinta.,

sanggup kah diriku menemukan cintaku?,

pabila cinta memanggilmu

pabila cinta memanggilmu

ikutilah dia walau jalannya berliku-liku… Dan, pabila sayapnya merangkummu… pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu…”

“…kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk berpetualang”

“Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta… terus hidup… sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan…”

“Jangan menangis, Kekasihku… Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah… kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan”

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana… seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada…”

“Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini… pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang”

“Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai… Dan, apa yang kucintai kini… akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai… dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya”

“Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih; dan kesendirianku… sebengis kematian… Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara…, di dalam pikiran malam. Hari ini… aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari. Dan, ini berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang, sepatah kata, sebuah desakan dan… sekecup ciuman”

Senyuman

Senyuman


Ketika hidup memberimu cinta, kau hanya perlu tersenyum dan mengambil kesempatan atau mempersilahkannya
Tersenyumlah, tersenyum
dengan begitu kau bisa bahagia dalam hidup
Tersenyumlah, tersenyum
karna setiap kesulitan pasti ada kemudahan
Tersenyumlah, tersenyum
dengan begitu kau tahu ada kekuatan dalam dirimu.

var adfly_advert = 'int'; var adfly_advert = 'banner';