Jumat, 20 Mei 2011

Rintih-rintih Kenangan

Rintih-rintih Kenangan

Angin laut bertiupan ke pedalaman. Memahat pasir gurun menempa sabit. Berdarahlah jemari berdarahlah hati. Menggagas rindu menggagas pulang. Ke alamat mana dahulu aku tinggal.1) Pantai sesekali mengirim cemas lewat buih yang bergegas.

Segantang rindu membayang di ambang batas pandang. Camar bergegas menyeret-nyeret sepi pulang ke sarang. Matahari yang renta tergugu di beranda bianglala.2)

“Tidak, ayah.” Aku terhenyak.

Kenangan itu tiba-tiba saja melesak. Perjuangan berat selama tiga tahun untuk mengubur kenangan itu. Menjadi semata usaha yang percuma. Sia-sia belaka. Semua bermula dari ajakan ayah untuk kembali ke pulau tempat aku dibesarkan, pulau Batam. Begitu deras kenangan itu menggilas.

“Aini, kamu hanya dua orang bersaudara. Kamu hanya punya satu kakanda. Dan kakandamu hanya punya satu adinda. Kandamu berharap kamu bisa menemaninya menempuh hidup baru, barang satu-dua minggu. Apa pun risikonya,” tutur ayahku panjang lebar.

Petta, begitulah aku memanggil ayahku yang telah membiarkanku melarikan luka ke kota Bogor, adalah ayah yang baik dan penyabar. Pada wajahnya yang keras khas lelaki dari Bugis-Makassar, dengan tubuh tegap layaknya nahkoda kapal niaga, aku bisa menangkap ada kecemasan membayang di rerambut putih dan kerat-kerut di keningnya. Petta selalu berbicara dengan suara yang lambat dan lembut, seperti keluar dari bagian tubuh yang paling dalam dan jauh. Tidak pernah kulihat Petta marah, bahkan sekadar mukanya memerah karena menahan amarah. Termasuk ketika aku meminta diberi luang menjalin cinta dengan lelaki pepuja hati. Tidak selayaknya lelaki Bugis-Makassar dengan adat masih terpegang ketat, Petta memberiku peluang. Petta hanya memberi pesan, “Hati-hati, cinta kadang-kadang membawa luka. Petta tidak ingin kamu menangis.”

“Kenangan itu masa lalu. Kamu hidup hari ini, bukan di masa lalu,” tambah bundaku.

Dan, ah! Kenangan itu bisa. Menyakitkan. Tidak mudah menawar bisa itu, bahkan dengan jampi mantra leluhur paling sakti maupun dengan air kelapa muda berwarna paling hijau sekali pun.

Kenangan itu luka. Mematikan. Tidak mudah menyembuhkan luka itu, bahkan dengan racikan obat tradisonal tabib mujarab maupun dengan rerupa resep dokter paling spesialis sekali pun.

“Tidak, petta. Tidak. Aini ingin menemani kanda barang satu-dua minggu, namun hati Aini tidak berdaya menawar leluka. Terlalu menyakitkan kenangan itu, Petta. Sanna sikali paccena atingku.3) Maafkan nanda, Bunda.”

Petta terdiam. Di matanya membayang geliat air mata. Selalu begitu jika Petta menatapku. Kucoba bertahan dengan sesendu tatapan yang kupunya. Petta memalingkan wajahnya. Aku tahu, pasti ada riak di mata Petta. Dan, Petta akan selalu menyembunyikannya. Selalu ingin terlihat tegar. Meski kutahu, Petta merasakan getir yang melindap di kedalaman hatiku.

“Mari sini cahaya hatiku, putri belah jiwaku. Petta tahu kamu terluka. Tiga tahun semuanya berlalu, kamu masih juga bertahan memeras kenangan. Ah…”

Bunda tergugu. Di pipinya menderas air mata. Selalu begitu jika Bunda mengingat kerat-kerat sejarah cintaku. Kuseka air mata yang satu-satu menggulir di pipi. Bunda semakin tergugu. Air matanya menderas. Aku yakin, Bunda selalu ingin menahan tangisnya. Selalu ingin membenam lukaku dalam lelembut dekapnya. Meski Bunda tahu, sesaat setelah peluk itu terlepas, serpih rintih-rintih kenangan kembali akan menyerbu dari segala penjuru.

“Sudahlah, Nanda. Semua harus berakhir. Mungkin inilah jalan yang terbaik dan kita mesti relakan kenyataan ini,”4) tutur Bunda.

Semilir angin senja melayah di wajah. Matahari bermandi cahaya memerkah di langit sebelah barat. Batam terasa panas meski senja sudah memerah.

Semakin ingin kumatikan kenangan, semakin kuat batangnya menjulang ke angkasa. Semakin ingin kulupakan semuanya, semakin kokoh akarnya memancang dalam ingatan. Sungguh, terlalu indah untuk dilupakan. Meski terlalu perih untuk dikenangkan.

***

Camar sedang berkemas pulang ke sarang. Langit memerah diruah cahaya senja. Arak-arakan awan menghampar dilingkung kenangan. Dari arah laut, ombak berkejaran. Menggulung bebuih, meninggi-merendah, meregang-menerjang, menepi di bibir pantai. Sepanjang mata memandang, pepasir basah berkilau menantang. Cangkang kerang berserakan menanti tangan lajang.

Segera kemari kenangan, tiga tahun silam, di tempat ini kulurung harapan di sela gelombang. Tiga tahun silam, kularung cinta di bebatuan karang. Tiga tahun silam, kulindung limbung hati menahan rerupa beban.

Datanglah, meski bukan sebagai kenangan. Jadi teman bercerita saja sudah cukup bagi letih. Karena waktu yang terus susut, tak henti menabur kenangan. Sedang kita tak sempat memungutnya.5) Aku ingin melupakan semuanya. Itulah mengapa sehingga aku memaksa diri melawan semua ketakutan. Ya, semenjak kematian Uki, aku paling takut bertemu ombak, apalagi pantai atau samudera. Tapi sampai kapan ketakutan itu harus aku pelihara? Hingga kapan aku harus menghindari samudera? Aku tidak bisa membiarkan diri sendiri dipenjara ketakutan.

Di bentang laut yang luas, telentang maut yang buas.6) Indah rasanya. Tersesat dalam rerimbunan bahasa yang asing, bahasa yang seluruhnya adalah nyanyian ingin menidurkan ombak dan seluruh yang bergolak serta membangunkan seluruh yang tergeletak.7)

Tuhanku yang berkuasa atas lautan dan seluruh isinya, biarkan aku melupakan kenangan menyakitkan yang telah Engkau curahkan dalam serat-serat ingatan. Biarkan aku tetap bisa melihat ombak dan laut lepas, tanpa harus diselimuti rasa rindu dan ketakutan yang berlebihan. Biarkan aku tinggalkan Batam dengan teduh merindu dan tenang mendamba. Tuhanku, amin.

Dari arah tempat Uki dulu mendorong perahu ke laut lepas, nelayan-nelayan mulai berkemas. Di bawah bebayang cahaya senja, sosok yang dua hari belakangan ini menguasai dunia nyata dan mimpiku, sedang melenggang dalam ayun langkah yang tak asing.

Sebisa mungkin aku menghapus bayangan Uki. Tidak, betapapun Oka bukanlah Uki. Uki tetaplah Uki, sedangkan Oka adalah Oka. Geliat darah menderas mengalir hingga ke ujung jemari sederas ombak menerjang karang. Mengapa aku tak lagi bisa meretas harapan yang menderas?

Aku tahu di depanku membentang laut lepas, tapi aku tak kuasa menanti Oka mendekat dan menyeret tubuhkan semakin tenggelam dalam gelombang kenangan yang mengerikan. Aku katupkan pelupuk mata, menghela nafas panjang, hendak menenteramkan hati dengan menghirup angin laut, harum pasir basah dan wangi gelombang. Dengan mata terpejam, aku saksikan Uki mengambang di angkasa. Duh, segera kubuka pelupuk mata. Di depanku, dengan tubuh tegap dan kekar, Oka berdiri melemparkan senyum paling teduhnya.

“Kukira kamu ke Bogor hari ini tanpa menitip pesan untukku,” kata Oka sembari membungkuk memunguti penyu kecil yang tersesat ke pantai, melurungkannya kembali ke laut.

ARGGGHHH! Aku benci saat-saat seperti ini. Mengapa pada saat aku mulai terbiasa melupakan bayangan Uki, Engkau hadirkan Oka selaku pengusik ingatan.

Aku menengadah ke wajah Oka. Parasnya yang berhias hidung yang mancung seakan menjelma paruh burung dengan kumis tipis menggaris di atas bibirnya yang senantiasa berhias senyum hangat, meski dengan bibir yang terkatup rapat. Alisnya yang hitam tebal melengkung bak pelangi. Di bawahnya bertahta sepasang mata elang, tajam dan meneduhkan, laksana bola kaca menyimpan berlaksa cahaya. Rambut ikalnya yang terpangkas pendek, serasi dengan tekstur wajahnya yang gagah perkasa. Sungguh, Uki dan Oka, benar-benar pinang di belah dua.

“Mengapa terus menggali kenangan, Dewi?”

“Panggil aku Aini, kumohon. Dewi telah terkubur bersama jasad Uki. Di sana, diperbatasan Laut Nongsa dan Laut Cina Selatan,” protesku dengan bola mata yang menyanggah kristal bening.

Oka melangkah ke arahku, berhenti tepat hanya selangkah di depanku. Tangannya terulur, menyeka dengan lembut air mata yang mengalir di pipiku. Aku mencoba bertahan dari siksaan kenangan, tanpa sepenuhnya paham apa yang harus aku lakukan.

“Dia telah pergi, Aini. Dia telah pergi.”

“Aku tahu.”

Lalu, angit laut yang mendesing di kuping turut menegaskan hening. Serentak aku dan Oka melepaskan pandangan ke laut lepas. Hanya kerling mata yang berhiaskan benang-benang kecemasan seakan hendang berbagi ketenangan. Namun hening lebih melarung dan melurung-lurung jiwaku yang ditelikung resah.

“Aku juga kehilangan kakakku, Aini. Aku juga kehilangan Uki. Kedekatan kami semenjak dipisahkan kenyataan dalam usia masih teramat muda, tiba-tiba direnggut ombak dan ganas laut lepas. Aku juga kehilangan, Aini. Bukan hanya kamu yang sering berkelahi dengan ingatan, aku juga mengalami hal yang sama. Aku juga susah-payah membunuh kenangan, meski hingga sekarang aku tak pernah mampu mematikan kenangan itu,” tutur Oka dengan mata menerawang.

Hawa dingin angin laut menggerayang di wajahku. Kata-kata yang sejak tadi aku tunggu, serta-merta bergema di telinga. Kian menegaskan kecemasan. Semakin memastikan kekuatan kenangan.

“Tapi kita harus tetap hidup, Aini,” lanjut Oka. Kali ini wajahnya berpaling padaku. “Kita harus tetap bertahan, pasti hal sama yang Uki ingin kita lakukan. Bukan terus-menerus berkubang dalam lumpur kenangan,” tegas Uki lagi.

“Aku sudah berusaha, Oka.”

“Hasilnya...”

“Kamu yang merusak semuanya. Kamu hadir ketika aku nyaris bisa menyimpan kenangan semata sebagai penghias ingatan. Kamu porak-porandakan pertahanan yang kubangun susah-payah. Kamu membobol bendungan penahan air mata yang kubangun dari serpih-serpih asa.”

“Maafkan aku jika mengusik ketenanganmu, Aini. Tapi...”

“Kenapa?” cecarku.

“Ah...” keluhnya sembari kembali menerawang ke laut lepas.

“Kenapa?” cecarku lagi.

“Aku juga ingin melupakan semuanya. Berharap jika bertemu denganmu, aku lebih mudah menjalani kenyataan ini.”

Mata itu, ah, mata itu. Mata Oka yang sedang berkaca-kaca menahan air mata, persis mata Uki jika sedang berjuang mati-matian menahan tangis. Aku merasa dihirup kekuatan maya, aku butuh ketenangan. Tumpah air mata yang dari kemarin tak berhenti meruah. Seketika suasana pun bertambah hening. Tanpa suara. Saling berdiam diri. Hanya debur ombak sesekali menimpali. Cahaya senja begitu sempurna menebar sunyi. Tangan kekar Oka merengkuh aku pada damai peluknya. Aku merasa gamang. Air mata meruah membasahi baju dan dada bidang Oka. Dua-tiga hitungan, aku merasa memeluk Uki. Pada detik keempat, aku merasa salah tempat. Kesadaranku mulai kembali.

Segera aku menarik tubuhku dari peluknya.

“Kamu jahat, Oka. Kamu memanfaatkan situasi...” jeritku sambil memukul-mukul dadanya.

“Ainiiii....” keluh Oka, “kamu salah mengerti.”

“Tidak, kamu yang salah mengerti, Oka. Kamu jahat.”

Aku berlari meninggalkan Oka dengan kesedihan memuncak dan pecah di sela ombak. Jeritku seakan merobek angkasa dan mengalahkan dendang gelombang. Terdengar samar Oka memanggil namaku, tapi aku tak peduli. Aku terus berlari. Aku harus pergi. Aku tidak bisa terus-terusan begini. Sebentar lagi aku memasuki perkampungan nelayan, tempat mobilku terparkir. Aku harus terus berlari, harus. Hingga tiba-tiba aku merasa ada tangan kokoh yang mencengkram lenganku dengan kuat. Aku meronta, sekuat tenaga.

“Lepaskan... Lepaskan!”

“Tidak. Sebelum kamu tahu semuanya.”

Matanya yang setajam mata elang itu seakan melumpuhkan segala daya yang kupunya. Aku tak bisa apa-apa. Hanya menunggu. Pasrah.

“Aku menyayangi kamu bukan semata karena kamu kekasih Uki. Aku menyayangi kamu karena memang sayang padamu. Aku tak ingin kamu terus menderita dan hidup dalam bayangan kelam masa lalu. Aku ingin mengajakmu merancang masa depan yang baru.”

“Benarkah?” tanyaku dengan mata menyelidik.

“Ya!”

Aku melengos.

“Sudahlah, tidak perlu bertahan pada kenangan.”

“Oke,” kataku tanpa bisa menyembunyikan rasa kaget, “oke, tapi beri aku waktu.”

Oka mengangguk. Aku memberi isyarat untuk pulang.

“Aku antar?” tanya Oka.

Aku hanya menggeleng, dan terus melangkah. Hari semakin senja. Matahari tinggal sepenggalah dari tempat istirahnya. Mungkin sudah jam lima petang.

***

Apakah aku bahagia mendengar pengakuan Oka? Entahlah. Sungguh, seperti menemukan panas matahari dan dingin angin laut bersahabat sangat dekat seperti kekasih yang menikmati cinta di perbatasan antara enggan dan akan, antara pergi dan kembali.8) Tapi aku memilih pergi. Mumpung baru jam setengah enam. Masih ada pesawat ke Jakarta. Aku harus meninggalkan Batam hari ini juga, sebelum aku jatuh cinta pada Oka. Segera kukemasi pakaian dan buku-buku.

“Mau kemana, sayang?” tanya Bunda yang tiba-tiba nongol di pintu.

“Bogor, Bunda?”

“Sekarang?”

“Ya!” jawabku tegas.

“Tidak bisa menunggu pagi?”

“Tidak bisa Bunda, aku takut Oka semakin membayangi benakku.”

“Sendirian saja?”

“Nggak apa-apa Bunda. Nanti minta dijemput kakek di Cengkareng.”

Bunda pun membisu. Membantuku mengemasi pakaian, melipat dan memasukkan ke dalam koper. Mengumpulkan buku, lalu mengepaknya dalam kardus.

Hari semakin senja. Aku harus segera pergi.

***

BERSAMBUNG

By Tono Maryono Cilawu Garut




0 komentar:

Posting Komentar

var adfly_advert = 'int'; var adfly_advert = 'banner';